review film Iron Man 3

Review film Iron Man 3


DENGAN Iron Man 3 mulai tayang di bioskop tanah air Kamis (25/4) , sobat hottest sekali lagi melihat Robert Downey Jr. memakai baju zirah sebagai Iron Man.
Dan kita, rasanya, tak bisa lagi membayangkan orang lain memakai baju zirah yang sama selain Downey Jr. sebagai Tony Stark si Iron Man. Bertahun-tahun nanti saat Downey Jr. tak lagi jadi Tony Stark/Iron Man, pemeran barunya harus terima nasib dibanding-bandingkan dengannya.
Seperti Tobey Maguire yang menancapkan karakter Peter Parker/Spider-man di tiga film Spider-man karya Sam Raimi, lewat film ketiga Iron Man ini, Downey Jr. kian merasuk ke dalam karakternya dan tentu pada akhirnya berhasil menancapkan karakter tersebut ke dalam benak penonton.
Downey Jr. adalah Tony Stark/Iron Man. Tak bisa tidak.
***

iron-man-3-screengrab-slice













Yang harus terlebih dahulu sobat hottest pahami soal Iron Man 3 adalah filmnya lanjutan dari film superhero terdahsyat tahun lalu, The Avengers (menghasilkan AS$ 1,2 miliar atau Rp 11,6 triliun dari seluruh dunia, kurang dahsyat apa coba?!).
Marvel kini mempraktekkan apa yang sudah lazim di jagat komik: crossover dan continuity. Penonton film, seperti pembaca komik, diminta memahami bahwa para superhero Marvel ini hidup dalam sebuah jagat yang sama (Marvel universe). Satu tokoh superhero bisa saling “bertamu” ataupun “berkumpul” dalam sebuah cerita khusus seperti The Avengers tahun lalu.
Maka, Iron Man 3 adalah lanjutan dari The Avengers, ketika Tony sudah kembali ke rumahnya sesudah prahara besar di New York. Yang nonton The Avengers pasti ingat adegan pamungkas saat Iron Man terbang ke langit sambil memanggul rudal dan nyaris mati meledakkan pesawat induk alien yang siap menghancurkan bumi serta menutup portal dengan dunia lain, pintu bagi alien ganas.
Stark di film ini digambarkan mengalami trauma yang membuatnya bisa sewaktu-waktu diserang rasa panik. Akhirnya, ia menyibukkan diri di "bengkel" canggihnya membuat prototipe baju zirah sang Iron Man yang lebih perkasa.
iron-man-3-58-600x285Sementara itu, dunia tengah diteror teroris yang lewat gambaran sekilas mengingatkan kita pada Osama Bin Laden (berjanggut dan banyak potongan gambar memperlihatkan tentaranya berpakaian mirip pasukan Talban di Afghanistan. Sang teror itu menyebut dirinya Mandarin (Ben Kingsley).
Mandarin menyebar teror di Amerika, meledakkan pusat keramaian dan membuat penyidik bingung karena tak ada bekas pecahan bom. Sang Iron Man terpanggil. Ia menantang Mandrin. Tapi akibatnya, rumah Iron Man diserbu roket dari helikopter-helikopter gerombolan Mandarin.
Iron Man berhasil selamat. Tark sang Iron Man dibantu seorang bocah kemudian menyusun rencana ulang bagaimana melawan teror Mandarin.
Cerita kemudian berkelok bahwa sejatinya bukan Mandarin yang kita lihat menebar teror penjahat sebenarnya. Saya tak mau bicara lebih lanjut siapa penjahatnya, namun yang perlu ditekankan pada momen ini kita melihat pameran akting mumpuni dari seorang Ben Kingsley (saya ngakak waktu Stark memanggilnya “Meryl Streep”).
Film Iron Man kali ini juga memberi pijakan baru bagi hubungan Stark dengan Pepper Potts (Gwyneth Paltrow). Di sini, Potts bukan lagi cewek yang harus diselamatkan sang jagoan, tapi … ah, sebaiknya kamu tonton sendiri.
***
Iron Man sebagai sebuah trilogi adalah tontonan film superhero bagi dunia pasca 9/11 (nine/eleven) serta dua perang Amerika di Afghanistan dan Irak. kamu tentu masih ingat, Iron Man pertama, rilis 2008, sejatinya adalah kritik bagi orang-orang yang mengambil keuntungan dari perang. Tony Stark adalah "pedagang senjata" yang semula ingin untung dari perang, tapi kemudian tersadar dan menciptakan senjata pamungkas untuk menyelamatkan bumi. Film Iron Man kedua, rilis 2010, lebih jauh menyitir isu perlombaan senjata di antara industriawan.
Yang ketiga ini (bukan lagi dibesut Jon Favreau [yang di film ini ikut main jadi pengawal Tony stark], melainkan Shane Black yang pernah menyutradai Downey Jr. di Kiss Kiss Bang Bang) sudah tamat dengan isu perlombaan senjata dan dari bayang-bayang perang Amerika. Kini, yang disuguhkannya adalah teror di tanah Amerika sendiri—yang terasa kian relevan karena Amerika baru saja dguncang Bom Boston. Para pelaku bom yang rela menghancurkan dirinya persis teroris yang meledakkan diri sambil dibelit bom pada tubuh.

Sineas Hollywood memang piawai memaknai kekacauan di dunia nyata untuk diterjemahkan ke dalam sebuah film. Khusus untuk ukuran film superhero, pencapaian paripurna adalah The Dark Knight (2008) yang menyuguhkan filsafat chaos dan anarki ke dalam sebuah film superhero yang sama seriusnya dengan film-film kelas Oscar.
Superhero keluaran Marvel semacam Iron Man ini tak mengambil jalan sulit yang diambil Christopher Nolan dengan trilogi The Dark Knight-nya.
The Avengers, misalnya, menjadi dahsyat semata karena para jagoan komik dengan karakter unik masing-masing berkumpul. Lalu, trilogi Iron Man menjadi dikenang bukan lantaran sub teks tentang dunia pasca 9/11-nya, tapi terutama karena kita jatuh cinta pada bagaimana Robert Downey Jr. memainkannya dan bagaimana para sineasnya (Favreau dan kini Black) bermain-main dengannya.
Trilogi Iron Man seakan menegaskan, tidak perlu mengambil jalan yang sulit seperti Nolan untuk menyuguhkan film superhero yang asyik. Dengan aksi spektakuler diselingi humor cerdas, sebuah film superhero tetap jadi tontonan asyik.***

PESAN : Jangan tinggalkan bioskop hingga film betul-betul usai. Ada adegan tambahan selepas credit title. Adegan kocak ini menegaskan crossover dalam jagat Marvel.

No comments: